Sabtu, 14 Juli 2012

ANTARA AKU DAN IBUKU


Aku Sabrina. Usiaku 25 tahun. Aku sulung dari lima bersaudara. Aku masih lajang dan bekerja sebagai seorang guru TIK di sebuah SMP swasta. Walaupun usiaku sudah bisa dibilang dewasa, tapi aku masih tinggal bersama orang tuaku. Aku lebih memilih tinggal di rumah yang jaraknya 10 km dari sekolah tempatku bekerja ketimbang harus mengontrak atau tinggal di kos-kosan. Semua itu aku lakukan karena memang orang tuaku sangat tidak mengijinkan aku untuk tinggal berjauhan lagi dari mereka. Ya, selama aku kuliah di luar kota, aku jarang pulang, dan mungkin jika aku harus tinggal lama di rumah itu karena lebaran.

Di rumah, kegiatanku setiap pagi adalah menanak nasi dan menyiapkan sarapan untuk ayah, ibu, dan keempat adikku. Sebagai seorang muslim, aku pasti bangun tepat ketika adzan subuh berkumandang karena aku harus menunaikan kewajibanku yakni sholat subuh berjamaah bersama keluargaku. Baru setelah sholat subuh usai kulaksanakan, aku akan melakukan senam dan gerak badan sebentar lalu ke dapur untuk menyiapkan sarapan. Begitu setiap harinya.

Pernah suatu hari, waktu itu hari minggu. Aku memasak bersama ibuku. Kami berdua memasak sayur asem dengan lauk ikan laut. Hmm, menu yang nikmat di hari minggu yang panas. Ketika asyik memasak sayur asem, tiba-tiba ada orang mencari ibu dan akhirnya ibu berpesan padaku, kalau airnya mendidih, sayur dan bumbu di masukkan semua, tinggal tambah garam, gula, dan sedikit penyedap. Aku lakukan perintah ibuku. Merasa kurang pas bumbunya, aku tambah lagi gula, garam, dan penyedapnya. Kurasakan lagi dan menurutku rasanya sudah pas. Lalu ibu ke dapur, menanyakan bagaimana sayur asemnya. Aku jawab kalau sayur asemnya sudah pas rasanya. Ibu pun tak percaya begitu saja dengan kata-kataku. Dia ambil sendok  dan mengambil sedikit kuah sayur asem dengan tujuan untuk merasakan rasa sayur asem yang kubuat. Tapi apa yang kudapat? Ibu membuang sendoknya dan berkata sayur asemnya terlalu gurih, dan tidak akan enak kalau di makan.
Aku diam. Menunduk. Tidak berkata apa-apa. Aku tinggalkan dapur dengan perasaan yang marah dan bergejolak. Aku merasa, kenapa ibu tidak menghargai karyaku? Soal gagal dalam masakan itu memang hal yang wajar karena memang aku baru belajar. Tidak sekali ini ibu bersikap seperti itu. Beberapa hari yang lalu pun ibu bersikap demikian ketika aku menggoreng kerupuk. Aku mendapat bentakan yang cukup keras karena menurut ibu aku tidak becus dalam hal menggoreng kerupuk. Memang, kerupuk yang aku goreng kurang mekar karena minyaknya kurang panas. 

Aku sering merenung. Kenapa ibu selalu bersikap seperti itu padaku? Aku menganggap ibu membenciku dan tidak menghendaki kehadiranku sebagai anaknya. Tapi kenapa hanya aku yang sering dibentak dan dimarahi? Kenapa keempat adikku yang semuanya laki-laki begitu di sayang dan jarang sekali mendapat bentakan? Ada rasa iri di hatiku, tapi aku juga tidak bisa berbuat apa-apa. Melawan ibu pun sama saja dengan mendatangkan petaka di hidupku. Dulu, ketika aku masih SMA, aku pernah melawan ibu. Dan apa yang aku dapat? Sebuah tamparan keras di pipi sebelah kanan. Sejak saat itu, hubunganku dengan ibu merenggang dan kami berhubungan cukup baik kembali ketika aku sudah lulus kuliah.

***

Usiaku sudah 27 tahun. Tahun ini, tepat 7 hari setelah hari ulang tahunku, aku akan melangsungkan pernikahan dengan lelaki pujaan hatiku. Lelaki yang sudah kupacari selama 7 tahun. Di rumahku sudah mulai sibuk, beberapa saudara dan kerabat sudah bermalam di rumah untuk membantu mempersiapkan pesta sakral pernikahanku. Sesekali aku melihat wajah ibu seperti tak biasa. Ibu yang kukenal sebagai orang yang ekspresif dan temperamental, mendadak berubah menjadi orang paling melankolis. Entah kenapa. Bukankah seharusnya ibu senang karena aku yang biasa dibentak dan dimarahi akan pergi jauh darinya? Bukankah seharusnya ibu senang karena aku yang suka teledor mengerjakan sesuatu sampai emosi ibuku membuncah dan akhirnya memarahiku akan pergi dari rumahnya dan mungkin aku akan sangat jarang mengunjunginya? Aku tidak tahu apa yang sedang terjadi pada ibuku.

Hari pernikahanku pun tiba. Pukul 09.00, prosesi ijab qobul akan dilaksanakan. Ayah yang menjadi wali nikahku sudah siap berangkat ke masjid yang berada tak jauh dari rumahku. Ya, prosesi ijab qobul akan dilaksanakan di masjid dan aku sebagai mempelai wanita akan tetap tinggal di rumah karena dalam agamaku, dua mempelai tidak boleh dipertemukan jika belum sah.

Ibu menungguiku di dalam kamar pengantin. Aku hanya diam sambil sesekali menyeka keringatku. Aku menjadi kaku dan tidak berani memulai sebuah pembicaraan untuk mencairkan suasana. Ibu melihatku, dan melihat riasan di wajahku ada yang tidak beres. Segera ibu keluar kamar dan mencari perias yang meriasku tadi. Setelah perias membereskan riasan di wajahku, akhirnya riasan di wajahku sudah bagus. Tapi akhirnya aku dapat sedikit bentakan dari ibu,"Kalau menyeka keringat itu hati-hati! Bisa rusak kan? Bikin repot perias saja!". Huuuuufht... Aku menghela nafas yang begitu dalam. Dalam hatiku, aku bicara, tolonglah ibu... sekali ini saja bersikaplah lembut padaku. Ah, mungkin ibu memang kelelahan dan kecapekan menyiapkan acara pernikahanku ini. Biarlah, toh memang sudah biasa aku kena marah dan kena bentak.

Akhirnya, acara pesta pernikahanku usai lah sudah. Lelah dan ngantuk berbaur jadi satu karena memang jadi kurang nyenyak tidur selama beberapa hari menjelang pernikahan. Lusa, aku bersama keluarga besar dan suamiku akan melakukan prosesi ngunduh mantu di kediaman keluarga suamiku. Dan itu juga akan membuat tubuhku kelelahan kembali.

Setelah prosesi ngunduh mantu, keesokan harinya aku langsung terbang ke Sulawesi. Suamiku bekerja di Sulawesi dan memang suamiku hanya mendapat jatah cuti yang sangat sebentar, sehingga aku tidak punya banyak waktu senggang setelah melangsungkan pernikahan. Ibu, ayah, dan adik-adikku turut serta mengantarkan aku dan suamiku ke bandara. Ketika kami semua bersiap untuk turun dari mobil, mendadak ibu tidak mau turun dan tidak mau ikut masuk bandara. Aku bertanya-tanya dalam hati, kenapa ibu jadi seperti ini? Ini hari terakhirku bersama keluarga dan mungkin aku akan kumpul keluarga lagi kalau sudah lebaran. Kenapa ibu begitu tega tidak mau mengantarkan aku dan suamiku masuk ke bandara dan melepas kepergian kami?

Ibu tetap bersikukuh dengan pendiriannya untuk tidak mengantarkan aku dan suamiku. Walaupun ayah sudah membujuk dengan berbagai cara, tetap saja ibu tidak mau. Ya sudahlah, pesawat yang aku tumpangi juga akan segera berangkat. Aku dan suamiku pamit kepada ayah dan juga adik-adikku. Aku menengok ke belakang, mungkin ibu berubah pikiran. Tapi setelah aku masuk pun, tak ada sosok ibu muncul di hadapanku. Biarlah, mungkin memang ibu membenciku atau tidak menyukaiku.

***

Setahun berlalu. Aku hanya bisa berkomunikasi via telepon dengan keluargaku. Terkadang aku kangen dan ingin pulang ke kampung halaman. Tapi suamiku tidak mengijinkan kalau aku pergi sendiri. Aku pun hanya bisa patuh dan menuruti apa yang suamiku katakan.

Suatu hari, aku mendapat telepon dari ayah. Aku diminta untuk pulang segera. Aku minta ijin ke suamiku, tapi suamiku melarang dengan alasan aku sedang hamil muda dan bahaya kalau pulang kampung sendirian. Aku membujuk suamiku dan akhirnya suamiku pun mau minta cuti. Aku dan suamiku akhirnya pulang ke kampungku. Sesampainya di rumah, aku disambut dengan bendera kuning yang tertancap di pohon asam depan rumah. Jika ada bendera kuning di depan rumah seseorang, itu tandanya ada yang meninggal. Tapi siapa? Siapa yang meninggal di rumahku? Tidak mungkin kalau ayah karena baru kemarin sore ayah menelpon dan memintaku pulang. Apakah nenekku? Atau siapa? Aku bingung dan dengan sedikit berlari, aku bergegas masuk rumah. Tidak ada jasad siapapun. Lalu arti bendera kuning itu apa? Aku mencari sosok ayahku dan akupun melihat ayah sedang duduk di tepian ranjang kamarnya. Ayah memandangi foto ibu. Aku duduk di samping ayahku dan tersadar dengan kehadiranku, ayah langsung memelukku dan menangis sejadi-jadinya. Aku yang ada dalam pelukan ayah menjadi semakin bingung. Aku berusaha bertanya tapi ayah malah semakin menangis. Suamiku turut serta masuk ke dalam kamar dan berusaha menenangkan ayah. Ayah akhirnya tenang walaupun sesekali masih terdengar isaknya.

Suamiku berusaha bicara pelan-pelan dengan ayah dan menanyakan apa yang terjadi. Ayah tak menjawab, tapi langsung menyodorkan kertas putih yang terlipat rapi dari dalam saku baju kokonya. Ayah menyodorkan kertas itu padaku. Aku buka dengan perlahan dan kubaca setiap kata yang tertulis di sana.

Dari ibu...

Sabrina sayang...
Maafkan ibu, Nak. Selama ini, dari kamu kecil hingga kamu dewasa, ibu sering memarahi dan membentakmu. Ibu sering emosi jika melakukan suatu pekerjaan bersamamu. Ibu sadar, ibu bukanlah ibu yang baik untukmu. Ibu telah membentuk karaktermu menjadi anak yang temperamental, sama seperti ibu. Maafkan ibu, Nak...

Maafkan ibu, Nak. Ketika kamu menikah, ibu masih sempat membentakmu karena riasan wajah yang terhapus saat kau menyeka keringat. Tapi taukah engkau, Nak? Mungkin sesekali kau melihat ibu menyeka air mata ketika semua orang sedang sibuk mempersiapkan pesta pernikahanmu. Waktu itu, ibu memang menangis. Ibu tidak sanggup harus melepasmu. Ibu tidak sanggup jika harus berjauhan denganmu. Ibu sering memarahi dan membentakmu bukan karena ibu benci, tapi karena ibu ingin kau menjadi anak yang kuat dan tegar dalam menghadapi apapun. Sejak kecil, kamu sakit-sakitan dan ibu tidak ingin kekuranganmu itu menjadi suatu alasan untuk kau berhenti berkarya. Oleh karena itu, ibu didik kamu dengan keras agar kamu lupa dengan kekuranganmu, agar kamu lupa jika kamu sakit-sakitan, agar kamu lupa jika kamu itu lemah. Ibu ingin anak perempuan ibu satu-satunya menjadi sosok yang tidak mudah menyerah. Dan ibu merasa, ibu berhasil membuatmu menjadi orang yang kuat walau akhirnya kau mewarisi sifat temperamen yang ibu miliki.

Maafkan ibu, Nak. Tolong jangan menyimpan dendam kepada ibu. Semenjak kau pergi dari rumah ini dan ikut suamimu ke Sulawesi, sejak itu pula kesehatan ibu terus menurun. Tak ada kawan bicara, tak ada kawan memasak bersama. Ibu kesepian. Penyakit kanker yang sudah ibu derita selama 1 tahun belakangan ini, semakin tak terkendali. Tapi ibu tak ingin meruntuhkan jiwamu yang sudah berhasil ibu bangun dengan cukup kokoh. Ibu tidak ingin melihat engkau kembali menjadi anak yang cengeng dan merasa lemah. Maafkan ibu, Nak...

Ibu sangat mencintaimu...

Aku hanya bisa diam dan tak merasakan apa-apa. Bagai mendapat sebuah hantaman keras di kepala, yang kurasakan hanya sakit, sakit, dan begitu sakit. Bukan sakit karena apa, tapi sakit karena selama ini aku mengira ibu membenciku, aku mengira ibu tak menginginkanku, aku mengira ibu tak sudi memiliki anak seperti aku. Tapi ternyata aku salah. Ibu berbuat begitu agar aku lupa jika aku ini anak yang sakit-sakitan dan lemah. Maafkan aku ibu....

Kini ibu telah pergi dan aku harus membangun jiwaku kembali menjadi sosok yang lebih kuat dari hari ini. Terima kasih Ibu....


Tidak ada komentar:

Posting Komentar